Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum: Tranformasi PRESISI Polda Aceh Menangani Etnis Rohingnya

Editor: Syarkawi author photo


Banda Aceh - Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengatakan resposibiltas Polda Aceh dalam penanganan etnis Rohingnya termasuk pengungkapan sindikat penyelundupan manusia terhadap etnis Rohingnya oleh sindikat transnational crime perlu diapresiasi.

“Persoalan etnis Rohingnya bukan persoalan pengungsi yang mencari suaka yakni warga negara Banglades namun merupakan persoalan terjadinya praktek penyelundupan manusia yang berimplikasi pada kedaulatan negara, Kamtibmas dan Kamdagri. Penanganan yang dilakukan oleh Polda Aceh berstandar pada court of condaks trasformasi Polri yang prediktif, responsibilitas dan transparansi yang berkeadilan memfaktakan bahwa telah terjadinya praktek penyelundupan manusia terhadap etnis Ronghinya,” ujar Dr Alpi di Medan, Selasa (2/1).

Dr Alpi juga sebagai ahli hukum pidana yang dimintakan oleh Polda Aceh khususnya Polres Aceh Timur dalam kasus maraknya WNA etnis Rohingnya di wilayah Aceh mengatakan, seharusnya terhadap Polda lainnya misalnya Polda Sumut dapat lebih responsive dalam penanganan etnis Rohingnya dengan mencontoh Polda Aceh karena jenis kejahatan ini membahayakan kepentingan Republik Indonesia.

Menurutnya, sindikat penyelundupan manusia terhadap etnis Rohingnya dengan melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah memasuki wilayah Indonesia.

Begitu juga, sambungnya kalau keluar dari wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah. “Baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena penyelundupan manusia,” tegasnya.

Dia menandaskan, penyelundupan ini terfaktakan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Polda Aceh diperoleh alat bukti berupa persesuaian keterangan para saksi-saksi dari etnis Rohingnya dan alat bukti lainnya. Bahwa mereka telah membayarnya 300.000 Taka mata uang Negara Banglades jika dikonversi ke Rupiah sebesar Rp42.254.400. Demikian pula terhadap warga negara Banglades maupun pengungsi COS BAZAR Putu Palong, Banglades harus membayarkan sejumlah uang yang sama yakni sebesar 300.000 Taka.

“Kesemua penumpang di kapal memiliki agen masing-masing untuk keluar dari Banglades maupun yang dari Camp COSBAZAR di Banglades. Modus operandi pelaku sindikat transnational crime salah satunya adalah menjanjikan setelah mendapat pekerjaan berkewajiban untuk membayar ke agen. Diperoleh keterangan saksi dari etnis Rohingnya WNA Banglades bahwa telah membayar 7.000 Taka (Rp980 ribu) kepada agen dan sisanya 293.000 Taka (Rp41,020 juta) akan dibayar saat sudah bekerja di Malaysia. Aadapun cara membayarnya setiap gajian akan membayarnya 1000 ringgit (Rp3,305 juta).

Dijelaskan, di Indonesia berkaitan kedaulatan negara selain adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi terdapat juga pemberlakukan hukum pidana nasional sebagaimana prinsip-prinsipnya terdapat didalam KUH Pidana yakni: Pertama, Asas Teritorial yang mengatur bahwa siapapun baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di Indonesia, terkena ketentuan hukum pidana Indonesia, baik itu KUHP maupun di luar KUHP (Pasal 2 KUHP).

Kedua, Asas Personalitas / Nasional Aktif (Pasal 5 dan 7 KUHP) yang mengatur bahwa WNI yang berada di luar negeri melakukan tindak pidana yang diancam dengan ketentuan pidana di Indoensia dan juga ditempat dia berada juga merupakan tindak pidana, maka WNI tersebut dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana Indonesia.

Ketiga, Asas Perlindungan / Nasional Pasif yang mengatur bahwa baik WNI maupun WNA di luar negeri melakukan tindakan, perbuatan, gerakan atau aktivitas yang membahayakan kepentingan Republik Indonesia, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana Indonesia.

Keempat, Asas Universalitas, adalah kekuatan berlakunya hukum pidana yang ditujukan untuk menjaga kepentingan Internasional. Asas ini diperlakukan karena kemungkinan penerapam asas hukum pidana. Asas universalitas menunjukkan berlakunya hukum pidana melampaui batas kewilayahan dan asas personalitas sebagai pengecualiannya.

“Hukum pidana Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana baik dilakukan di dalam wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Artinya kekuatan hukum pidana berlaku bagi siapapun dan dimanapun tindak pidana dilakukan,” katanya.[]

Share:
Komentar

Berita Terkini