39 Jenis Komoditas Tambang Mineral dan Batu Bara Terkandung di Bumi Aceh

Editor: Syarkawi author photo

 

Banda Aceh - Aceh dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan komoditas atau bahan tambang. Di antaranya emas, perak, tembaga, dan nikel.

Berdasarkan data pada Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Pusdatin KESDM), terdapat 39 jenis komoditas mineral dan batu bara di Bumi Aceh.

Komoditas mineral itu terdiri atas logam (besi primer, timbal, seng, emas primer, perak, tembaga, molybdenum, air raksa, platina, pasir besi, emas aluvial, kobalt, titan placer, besi laterit, dan nikel).

Selain itu, terdapat pula komoditas mineral bukan logam dan batuan (batu gamping, marmer, granit, andesit, lempung, sirtu, diorit, tras, rijang, serpentinit, basal, ultrabasa, felspar, dolomit, pasir kuarsa, dasit, bentonit, kuarsit, batu sabak, fosfat, magnesit, giok, dan kayu terkersikkan).

Berikutnya adalah komoditas batu bara yang banyak terdapat di Aceh Barat, bahkan sudah dieksploitasi.

Informasi tersebut diperoleh Serambinews.com dari Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Aceh, Ir Mahdinur MM di Banda Aceh, Jumat (26/7/2024) pagi.

Mahdinur juga mengungkapkan mengapa Bumi Aceh kaya akan komoditas tambang dan batu bara.

Menurut Mahdinur, terbentuknya berbagai jenis bahan tambang di muka Bumi ini tidak luput dari proses geologi.

Aceh secara geologi memainkan peran penting dalam pembentukan dan distribusi sumber daya mineral karena terletak di jalur Sesar Sumatra yang merupakan salah satu sistem patahan aktif.

Aktivitas tektonik di sepanjang patahan ini, kata Mahdinur, menciptakan berbagai formasi geologi yang kaya akan mineral.

Selain itu, lanjut Mahdinur, Aceh memiliki empat gunung api aktif, yakni Seulawah di Aceh Besar, Burni Telong di Bener Meriah, Peuet Sagoe di Pidie, dan Jaboi di Kota Sabang yang juga berperan penting dalam proses pembentukan mineral.

Dari 39 jenis komoditas tambang tersebut, sebut Mahdinur, 35 jenis merupakan potensi komoditas hipotetik atau tereka berdasarkan data Minerba One Map Indonesia (MOMI).

Selain itu, delapan jenis komoditas telah diproduksi, yaitu besi primer, emas primer, pasir besi, batu gamping, lempung, pasir dan batu (sirtu), tras, dan batu bara.

Saat ditanya, apakah komoditas mineral dan batu bara tersebut dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat?

Mahdinur memberikan jawaban legal normatif terhadap pertanyaan ini. Bahwa sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kekayaan alam, dalam hal ini termasuk mineral dan batu bara, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Artinya, komoditas mineral dan batu bara dapat dimanfaatkan sesuai dengan norma standar prosedur (NSP) yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mahdinur juga membeberkan cara atau mekanisme jika masyarakat ingin melakukan kegiatan pertambangan.

"Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, artinya untuk mengelola pertambangan di negara kita ini, harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," terangnya.

Secara aturan, lanjut Mahdinur, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur tentang pertambangan mineral dan batu bara bahwa pengusahaan pertambangan harus dilakukan melalui permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Lalu, siapa yang berwenang menerbitkan izin pertambangan, khususnya di Aceh?

"Khusus untuk wilayah Aceh, kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan atau IUP diterbitkan oleh Pemerintah Aceh sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh."

Adapun prosedur dan mekanisme penerbitan IUP oleh Pemerintah Aceh, menurut Mahdinur, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan aturan turunannya, serta Qanun Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Sedangkan untuk daerah lain di Indonesia kewenangan penerbitan IUP dilakukan oleh pemerintah pusat.

Mahdinur mengatakan, dalam hal masyarakat telah memiliki izin penggalian/penambangan, maka sesuai dengan ketentuan untuk melakukan kegiatan pertambangan ada dua tahapan izin yang harus dimiliki, yaitu IUP eksplorasi dan IUP Operasi Produksi (Eksploitasi).

Kegiatan IUP Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

Sedangkan kegiatan IUP Operasi Produksi (Eksploitasi) adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

Mahdinur juga menyebutkan jumlah perusahaan pertambangan mineral dan batu bara di Aceh yang sudah diterbitkan IUP-nya.

Saat ini terdapat 331 IUP yang terdiri atas 30 IUP Mineral Logam, 13 IUP Batu Bara, dan sisanya merupakan IUP mineral bukan logam dan batuan.

Mahdinur juga mengingatkan bahwa bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non- renewable). Oleh karenanya, dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara harus benar-benar memberikan kontribusi bagi perekonomian Aceh.

Kontribusi sektor pertambangan mencakup pendapatan negara bukan pajak (PNBP), pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi, penciptaan lapangan kerja, serta pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan data yang ada sejak tahun 2018-2023, sebut Mahdinur, total PNBP sektor pertambangan mineral dan atu bara di Aceh mencapai hampir 1,5 triliun rupiah.

Adapun tenaga kerja yang terserap mencapai ±3.000 orang.

Selain itu, dari kontribusi Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) mencapai ± Rp153 miliar dalam bentuk program dan kegiatan.

Ditanya tentang apa harapan ke depan terkait sektor pertambangan mineral dan batu bara di Aceh, Mahdinur menjawab lugas.

"Harapan terbesar saya ke depan nantinya adalah sektor pertambangan mineral dan batu bara dapat menyejahterakan masyarakat Aceh secara luas mencakup aspek kebermanfaatan, berkeadilan, dan berkelanjutan."

Kebermanfaatan artinya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Dari sisi sosial, dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan di lingkungan sekitar tambang.

Berkeadilan, urai Mahdinur, artinya memberikan manfaat ekonomi dan sosial secara adil untuk semua pemangku kepentingan, keterlibatan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan pertambangan seperti pada program dan kegiatan PPM.

Terakhir, berkelanjutan. Ini bermakna, kegiatan pertambangan haruslah memperhatikan aspek konservasi sumber daya mineral dan batu bara.

"Secara khusus saya juga berharap Pemerintah Aceh ke depan melalui Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) melakukan kerja sama pembiayaan mawah (participating interest minerba) dengan perusahaan pertambangan mineral dan batu bara untuk tahap operasi produksi," ujarnya.

"Hal ini akan memberikan manfaat yang besar untuk Aceh melalui mekanisme pembagian keuntungan sesuai dengan kontrak kerja sama," demikian Mahdinur yang pada 1 Agustus tahun ini memasuki masa purnatugas sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di jajaran Pemerintah Aceh.

Sumber: SerambiNews.com

Share:
Komentar

Berita Terkini