Terkait Kepemimpinan di Aceh, Diperlukan Hijrah Berbagai Sisi

Editor: Syarkawi author photo

 

Meuligoeaceh.com - Pengantar: Tahun Baru Islam menjadi momen untuk merenungkan diri atas perbuatan dan dosa yang telah dilakukan di tahun sebelumnya. Hal ini diartikan jika momen ini adalah waktu yang tepat untuk meminta maaf kepada Allah SWT dan bertekad menjadi pribadi yang lebih baik di tahun-tahun yang akan datang. Sebab, hakikat hijrah adalah meninggalkan perbuatan maupun perkataan yang tidak baik seperti mengikuti hawa nafsu atau bisa dikatakan sebagai suatu tindakan mulia berorientasi kepada perbaikan diri baik secara individual maupun kolektif dengan janji indah dari Allah bagi yang mau melaksanakannya. Janji kesuksesan besar di dunia, dan kebahagiaan yang jauh lebih besar di akhirat. Lebih lengkap simak wawancara Eriza M. Dahlan dengan Prof. Dr. Ali Abubakar, M. Ag, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry berikut ini:

Menurut Anda dari refleksi tahun baru Hijriyah apa yang bisa kita terapkan di dalam kehidupan sehari-hari?

Hakikat hijrah adalah pindah dari satu kondisi tertentu yang dianggap kurang baik ke kondisi lain yang dianggap lebih baik. Ini juga bermakna bahwa sesuatu yang sekarang dianggap baik, bisa jadi ke depan sudah dinilai tidak baik lagi, karena sebab tertentu yang logis. Karena itu, setiap saat sesungguhnya kita harus selalu berusaha mengevaluasi diri, menemukan kelemahan, kesilapan atau kesalahan, untuk kemudian berusaha memperbaikinya, sehingga menjadi lebih baik. Dengan kata lain, setiap hari kita melakukan hijrah atau selalu bergerak ke arah yang lebih baik.

Kalau dalam konteks modern, bagaimana yang di katakan hijrah?

Dalam konteks modern, hijrah bagi umat Islam dapat bermakna, memperbarui pemahaman terhadap Islam sehingga nilai-nilai ajarannya benar-benar menjadi panduan dalam kehidupan. Dengan demikian, di satu sisi umat Islam tidak akan galau dengan berbagai hal baru dalam kehidupan modern, dan di sisi lain, ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat modern dan benar-benar menjadi hudan (petunjuk atau panduan).

Bagaimana Anda melihat syariat Islam di Aceh dan kepemimpinan dalam perspektif hijriyah?

Jika kita refleksikan pada kondisi Syariat Islam dan kepemimpinan Aceh sekarang, pemahaman atas hakikat hijrah seperti saya jelaskan di atas, maka syariat Islam tidak boleh kita anggap sudah selesai dan kita sudah merasa puas. Masih banyak hijrah-hijrah atau hal yang perlu dilakukan untuk mendekati Islam kaffah seperti yang dicita-citakan masyarakat Aceh. Untuk mencapainya, antara lain diperlukan pemimpin yang juga berada dalam kondisi senantiasa hijrah tentang pemahaman dan tindakan ke arah yang lebih baik. Sekiranya pemimpin di Aceh terpilih karena pola-pola transaksi kepentingan, politik uang, atau intimidasi, maka kita mendapatkan pemimpin yang masih dengan kondisi sebelum hijrah. Diperlukan hijrah di berbagai sisi yang terkait dengan kepemimpinan di Aceh.

Menurut Anda apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan generasi lebih baik?

Kita harus mengenali lebih dalam karakter generasi baru sekarang (generasi Z) yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar perangkat yang terhubung dengan internet. Dengan demikian, sekiranya ada hal yang perlu diluruskan, kita akan melakukannya tanpa harus “memaksa” mereka kembali ke cara berpikir dan hidup seperti generasi kita (generasi x dan generasi y/millenial). Misalnya, generasi sekarang mengalami fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang semakin marak. Kondisi ini menggambarkan ketakutan melewatkan momen, pengalaman, atau aktivitas yang sedang terjadi atau populer di lingkungannya. Tugas kita adalah mengarahkan mereka kembali ke kondisi riil yang mereka hadapi, bukan kondisi di dunia maya.

Sumber: Gema Baiturrahman

Share:
Komentar

Berita Terkini