Di lokasi, tim yang diketuai oleh Dr Husaini Ibrahim, MA melakukan observasi dan pemetaan (mapping). Mereka berhasil menemukan bekas benteng pertahanan, sebaran keramik, pecahan kaca, batu bata, hingga perkuburan yang diperkirakan berasal dari akhir abad ke-18 hingga abad ke-19 Masehi.

Arkeolog Deddy Satria yang terlibat dalam penelitian mengatakan, temuan tersebut memberikan bukti sejarah bahwa Kuala Batu yang dahulu dikenal dengan nama “Quallah Battoo”, merupakan pelabuhan yang memainkan peran penting dalam perdagangan maritim di bawah Kesultanan Aceh Darussalam.

“Ada delapan titik lokasi yang kita tandai dengan GPS yang nantinya akan digambar ulang di atas peta. Kesimpulan awal bahwa gundukan di delapan titik tersebut adalah sebuah benteng atau madat dalam istilah lokal, sebagai sistem pertahanan pelabuhan atau bandar Kuala Batu,” kata Deddy Satria, Sabtu 13 Juli 2024.

Selain mengamati benteng yang berada di Kecamatan Kuala Batee, tim juga melakukan wawancara masyarakat untuk menelusuri berbagai foklor yang berkembang mengenai Kuala Batu.

“Kuala Batu telah lama menjadi perbincangan di kalangan sejarawan Aceh dan masyarakat Aceh Barat Daya, namun belum ada penelitian yang komprehensif,” ujar antropolog STAIN Tengku Dirundeng Muhajir Al-Fairusy.

Ketua tim peneliti, Husaini, mengatakan penelitian ini bertujuan untuk melengkapi narasi sejarah Kuala Batu yang masih terputus, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya situs sejarah Kuala Batu, di mana Amerika pernah melakukan invasi militer pada tahun 1832.

“Di situs Kuala Batu terdapat peninggalan budaya yang mengandung nilai penting, seperti nilai sejarah dan pendidikan. Nilai penting ini perlu dijaga, dilestarikan, dan dilindungi supaya bisa dipelajari dan berguna di masa kini dan mendatang. Ini adalah tugas kita bersama dalam konteks pemajuan kebudayaan nasional,” tutup Husaini yang juga ketua dewan pembina Yayasan Warisan Aceh Nusantara.[]