Kegiatan yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh hingga 1 Agustus mendatang ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi SDM dan potensi ekonomi kreatif di Tanah Rencong.
Pelatihan ini diisi narasumber berkompeten di bidangnya di antaranya Aditya Kusumapriandana (Kemenparekraf RI), Ir Antiek Widijati (Kemenparekraf), Sahmullah Rivqi (Kemenparekraf RI), dan Iskandarsyah Majid (Universitas Syiah Kuala).
Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal melalui Kabid Pengembangan Usaha Pariwisata dan Kelembagaan, Ismail menyebutkan Aceh dengan kekayaan budaya dan sumber daya alamnya yang berlimpah telah menjadi pusat penting bagi sektor ekonomi kreatif, seperti kuliner, kriya, fesyen, serta industri kreatif lainnya.
Menurutnya, ekonomi kreatif telah menjadi motor penggerak inovasi, seni, dan budaya, yang memberikan warna dan keunikan pada masyarakat Aceh.
Berkembangnya industri ekonomi kreatif menjadi tantangan tersendiri dalam menghadapi persoalan atau permasalahan, seperti tata cara branding produk, kurangnya pemahaman dalam promosi atau pemasaran, rencana branding, cara menghadapi berbagai kompetitor di sektor ekonomi kreatif, dan jaringan kolaborasi yang masih rendah.
“Atas permasalah-permasalah tersebut, pelaku ekonomi kreatif memerlukan dukungan-dukungan dari berbagai pihak, termasuk asosiasi, lembaga terkait, dan pemerintah” ujar Ismail.
Ismail menyebutkan, Disbudpar Aceh sebagai wadah masyarakat yang peduli terhadap ekonomi kreatif berupaya untuk menghidupkan dan mengambangkan industri-industri ekonomi kreatif, dan juga berupaya membimbing para pelaku Ekraf untuk terus meningkatkan potensi diri yang berkelanjutan melalui storytelling.
“Untuk itu mari kita harapkan kepada seluruh intansi lembaga/ pelaku Ekraf, untuk dapat memamfaatkan ekonomi kreatif sebagai wadah dan sumber perekonomian untuk kita semua. Walaupun masih banyak kekurangan-keurangannya namun Pemerintah Aceh selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk para pelaku ekonomi kreatif,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur SDM Ekonomi Kreatif Kemenparekraf RI, Fahmi Akmal menjelaskan, berdasarkan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (Bab I Pasal 1) mengeyebutkan bahwa Ekraf merupakan perwujudan nilai tambah dari kekayaan Intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan atau teknologi.
Menurutnya strategi yang tepat dalam pengembangan industri kreatif tidak hanya penting untuk membuka peluang baru, tetapi juga untuk memberikan daya saing dengan merencanakan tindakan yang terstruktur dan inovatif.
Perusahaan kreatif, kata Fahmi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan pasar dan mempertahankan keunggulan kompetitif mereka di era digital yang terus berkembang.
“Seiring dengan perkembangan industri kreatif di era digital, mengikuti tren terbaru sangatlah penting. Memahami dan memanfaatkan tren saat ini seperti pengalaman virtual reality, integrasi AI, dan praktik berkelanjutan dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan kreatif, serta membantu mereka tetap relevan dalam lanskap industri kreatif
digital yang terus berubah,” imbuhnya.
Oleh karena itu Fahmi berharap, para pelaku Ekraf di Aceh dapat memadukan teknologi mutakhir seperti augmented reality, blockchain, kecerdasan buatan, dan pengalaman imersif dapat merevolusi industri kreatif.
“Dengan menggunakan inovasi-inovasi ini, perusahaan kreatif dapat meningkatkan keterlibatan pengguna, menyederhanakan proses, dan memberikan pengalaman unik dan berdampak yang beresonansi dengan audiens modern, sehingga mendorong pertumbuhan dan kesuksesan dalam lanskap digital,” harapnya.