Banda Aceh – Dalam sebuah pertemuan yang dihelat di kantor Gubernur Aceh pada Rabu, 21 Agustus 2024, KKR Aceh menyampaikan situasi terkini mengenai penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat kepada Kemenko Polhukam.
Pertemuan ini dihadiri oleh Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, bersama komisioner lainnya, Oni Imelva, Wakil Ketua KKR Aceh, dan Yuliati, Ketua Pokja Reparasi.
Dari pihak Kemenko Polhukam, rombongan dipimpin oleh Brigjen TNI Ruly Chandrayadi, SH, MH, Asisten Deputi Koordinasi HAM Kedeputian Koordinator Hukum & HAM.
Dalam dialog yang dipimpin oleh Dr. Drs. Yusrizal, M.Si, Kepala Biro Kesra sekaligus Plh. Asisten 1, Kemenko Polhukam menyatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk memantau realisasi penyelesaian non-yudisial atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh.
Pelaksanaan penyelesaian non-yudisial tersebut dilakukan oleh Tim PPHAM (Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu) pada tahun lalu, namun banyak hal yang masih belum tuntas, terutama terkait kondisi korban.
Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, mengungkapkan bahwa situasi di lapangan pasca berakhirnya tugas Tim PPHAM pada Desember 2023 masih memprihatinkan.
Laporan yang diterima dari perwakilan korban dan elemen sipil lainnya menunjukkan bahwa di daerah tiga peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi fokus PPHAM, korban masih belum mendapat pemulihan yang memadai.
“Banyak korban yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pemulihan dan memorialisasi. Bahkan, penemuan tulang kerangka korban saat pembangunan Memorial Living Park di lokasi Rumoh Geudong, Pidie, menambah kesedihan mereka. Nama ‘Living Park’ dianggap tidak tepat, menghapus kenangan mendalam korban terhadap tempat ini. Bagi mereka, nama ‘Rumoh Geudong’ adalah simbol perjuangan dan tempat mengenang para kerabat yang menjadi korban. Penggantian nama ini menambah luka, membuat korban merasa asing di tempat yang seharusnya menjadi saksi bisu penderitaan mereka,” ungkap Masthur Yahya.
Dalam pertemuan itu, Brigjen TNI Ruly Chandrayadi menginformasikan bahwa Kemenko Polhukam saat ini telah menyiapkan konsep Perpres untuk kelanjutan tugas Tim PPHAM di Aceh. Langkah ini diambil untuk melanjutkan penyelesaian non-yudisial yang belum tuntas.
KKR Aceh menyambut baik rencana ini, namun menegaskan bahwa mereka harus dilibatkan secara langsung mengingat KKR Aceh memiliki mandat non-yudisial dan lebih dari 5000 rekomendasi data hasil pengambilan pernyataan korban pelanggaran HAM yang masih belum mendapat pemulihan.
“Kami berharap Perpres ini segera disahkan oleh Presiden dan KKR Aceh diberikan peran yang lebih signifikan dalam proses ini. KKR Aceh adalah pihak yang paling memahami penderitaan para korban dan apa yang mereka butuhkan untuk pemulihan. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal mengembalikan martabat para korban,” ujar Masthur Yahya menutup pertemuan dengan penuh harapan.
Pertemuan ini menjadi sorotan, tidak hanya karena masih adanya persoalan yang belum terselesaikan, tetapi juga karena kontroversi seputar perubahan nama yang dianggap merendahkan kenangan akan masa lalu yang kelam.
KKR Aceh terus mendesak agar hak-hak korban diakui dan dihormati, bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi sebagai langkah nyata menuju keadilan dan perdamaian yang sejati di Aceh.[]