Oleh Mukhsin Rizal, S.Hum.,M.Ag.,M.Si.
Meuligoeaceh.com - Gampong merupakan satuan Pemerintahan level terbawah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, Gampong juga sering didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh Keuchik serta berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menempatkan gampong sebagai satuan pemerintahan otonom. Hal ini terlihat dari tidak jelasnya pengaturan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan gampong.
Kewenangan gampoeng tertuang dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya pada pasal 18 yang berbunyi Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Hadirnya kewenangan tersebut dan tersedianya aturan tentang peranan desa sebagai satu kesatuan pemerintahan yang otonom dan saling berkaitan dengan beberapa kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan di tingkat desa, menjadikan desa dapat berperan luas, tidak terkecuali pada upaya menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang hidup teratur dengan tradisi yang ada dan selalu bersisian erat dengan kebudayaan dan pengaruh dunia luar, mengharuskan desa/gampong harus senantiasa protektif untuk menjaga tatanan sosial budayanya sendiri sebagai modal dalam menata masyarakatnya.
Sering kali pula persisian berpeluang memberi dampak pengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat misalkan adanya pengedaran narkoba, merebaknya kasus pencurian, menjamurnya aliran sesat, antipati masyarakat, munculnya kasus begal serta beberapa kondisi negatif lainnya yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah Gampong di Aceh, adakalanya menjalankan program Pageu gampoeng sebagai upaya melindungi gampong dan menjaga tatanan sosial budaya masyarakatnya.
Pageu Gampong sebagai suatu sistem tata kehidupan bersama yang bersifat protektif untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, dimana wujud implementasi pelaksanaannya bersifat membangun kebersamaan, menciptakan rasa memiliki, mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan antar masyarakat.
Konsep pelaksanaan Pageu Gampong dilaksanakan dalam dua bentuk yang pertama dilakukan sebagai sistem preventif (upaya Pencegahan) dan yang kedua sebagai sistem penyelesaian masalah/sengketa/perselisihan (represif) upaya ini di malakukan untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan masyarakat yang merasa kenyamanannya terganggu.
Penyelesaian masalah untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan masyarakat dilaksanakan melalui peradilan adat, yakni peradilan penyelesaian sengketa/perselisihan secara damai.
Penyelenggaraan Peradilan Adat di Aceh melibatkan perangkat Gampong mulai dari Keuchik sebagai ketua majelis sidang, Tuha Peuet dan Ulama sebagai anggota, Sekretaris Gampong sebagai panitera dan Ulee Jurong sebagai penerima laporan awal.
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat pada pasal 13 ayat (1),(2) dan (3) mengatur tentang jenis-jenis Sengketa/perselisihan adat yang terjadi di Gampong dan cara penyelesaiaannya yaitu aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.
Penyelesaian sengketa/perselisihan secara
adat di gampong kemudian diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda dan Majelis Adat Aceh pada tanggal 20 Desember 2011.
Selanjutnya SKB tersebut dijabarkan dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat.
Adapun sengketa/perselisihan yang wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim ialah tindak pidana yang bersifat ringan sebagaimana tertuang dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008.
Terkait dengan tempat penyelesaian sengketa/perselisihan dilakukan di meunasah hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 yang secara utuh berbunyi: “Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik/Geuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain”.
Penyelesaian Sengketa/ perselisihan dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada Adat-istiadat yang bersendikan syariat islam, hal ini senada dengan hadih maja orang Aceh:
“Adat bak Poeteumeureuhom Hukom bak Syiah kuala, Qanun bak putroe Phang Reusam bak Lakseumana”
“ Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut mandua nyan hanjeut tapisah teuma.”
Secara hukum telah banyak aturan yang mengatur tentang penguatan dalam rangka menjaga tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh, baik pengaturan dalam upaya preventif maupun upaya represif yang jika kita melihat secara utuh maka terlihat jelas ruang persisian untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan pendidikan adat istiadat serta budaya dalam rangka menjaga masyarakat agar tetap aman, nyaman, bermarwah, serta terlindungi hak-haknya.Pageu Nanggroe.
Wali Nanggroe melalui Reusam Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pageu Nanggroe menyusun pedoman dan panduan dalam penyelenggaraan Pageu Nanggroe dimana tujuan dari penyelenggaraan pageu Nanggroe untuk menjaga tatanan sosial masyarakat Aceh.
Pageu Nanggroe sebagai tatanan kehidupan masyarakat Aceh dalam rangka menjaga wilayah Aceh dari berbagai hal yang dapat merusak Aqidah, sendi-sendi adat, istiadat, dan sosial budaya yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga adat.
Penyelenggaraan pageu Nanggroe meliputi, syariat Islam, adat istiadat, sosial budaya, batas wilayah, ekonomi, pertanian, kehutanan, kelautan, tanah ulayat dan pemerintahan adat.
Reusam tersebut juga mengatur tentang penyelenggara pageu Nanggroe yang terdiri dari Majelis Fungsional Pageu Nanggroe, Lembaga-lembaga adat dan lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh serta lembaga keistimewaan/Kekhususan Kabupaten/kota.
Lembaga-lembaga adat yang di maksud dalam reusam Wali Nanggroe Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pageu Nanggroe terdiri dari Majelis Adat Aceh/ Majelis Adat Aceh Kabupaten/kota, Imuem mukim, Imuem chiek, Keuchik, tuha peut, tuha lapan, Imeum meunasah, keujruen blang, panglima laot, pawang glee, petua seuneubok, haria peukan dan syahbandar.
Fungsi penyelenggaraan Pageu Nanggroe meliputi, sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam menjaga tatanan sosial kemasyarakatan, menyelesaikan masalah tatanan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat Aceh, kemudian menjadi fasilitator dengan lembaga atau instansi terkait dalam rangka menanggulangi berbagai persoalan kemasyarakatan sesuai dengan syariat Islam.
Dilihat dari kehadiran reusam Pageu Nangroe sebagai ikhtiar dalam menjaga tatanan sosial dan budaya masyarakat Aceh yang dilakukan oleh Wali Nanggroe, terkoneksi dengan apa yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Sehingga penyelengaraan Pageu Nangroe harus di koneksikan juga dengan Penguatan Pageu gampong dan penguatan lembaga-lembaga adat lainnya.
Semoga ikhtiar menjaga tatanan sosial dan budaya masyarakat terus dilakukan, partisipasi seluruh masyarakat Aceh baik dalam hal mengedukasi generasi muda maupun memberikan saran pendapat kepada aparatur gampoeng untuk menyusun reusam gampong terkait Pageu Gampong karena sejatinya Gampong adalah pertahanan terakhir tatanan sosial masyarakat.
Jika gampong telah di obrak-abrik oleh kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari tatanan sosial dan tradisi adat-istiadat yang ada, maka dikhawatirkan generasi kedepan akan hilang identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki tatanan sosial budaya.[]