Kearifan Lokal Sabang

Editor: Syarkawi author photo



Meuligoeaceh.com
- Mayoritas penduduk Sabang menganut Agama Islam. Karena Sabang berada dalam wilayah Provinsi Aceh, di Sabang juga berlaku Hukum Syariat Islam. Kearifan lokal yang mengakar di Sabang berasal dari ajaran-ajaran Islam. Selain itu, kesusastraan lisan dan tulis daerah Aceh serta adat istiadat setempat juga menjadi landasan munculnya berbagai kearifan lokal di Sabang.

Kearifan-kearifan lokal tersebut, misalnya, terkandung dalam syair, pantun, teka-teki, riwayat, dan sejenisnya. Sabang juga memiliki dongeng atau legenda yang hingga kini masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, legenda Pulau Weh, riwayat terjadinya Pulau Rubiah, legenda Danau Aneuk Laot, kisah Pantai Kasih, dan lain-lain.

Pada masa lampau, dalam adat perkawinan di Sabang juga disuguhkan ranap sigapu alias ‘sekapur sirih’, yang disajikan kepada para tamu ketika melamar calon pengantin. Tidak hanya dalam adat perkawinan, ranup sigapu juga disajikan dalam berbagai kegiatan adat dan kenduri. Ranap sigapu yang disajikan dalam ceurana (wadah kuningan) berisikan buah pinang, sirih, kapur, dan cengkeh yang merupakan simbol penghormatan kepada para tamu.

Masyarakat yang menetap di tepian pantai juga mengenal tradisi kenduri laot yang artinya ‘turun ke laut’ sebagai bentuk kenduri tahunan. Dalam kenduri ini terdapat pantangan tidak boleh melaut selama satu minggu. Selain itu, terdapat juga tradisi kenduri atot yang berkaitan dengan ritual kematian. Ada juga kenduri maulid dan sebagainya. Berbagai bentuk kenduri itu merupakan adat dan budaya warisan leluhur masyarakat Sabang.

Sabang juga memiliki aneka ragam kesenian yang bersumber pada kesenian Aceh, yang meliputi Tari Saman, Tari Seudati, Musik Rapai, Suling, Seurune Kale, dan Likok Pulo. Kesenian itu biasanya ditampilkan pada hari-hari besar keagamaan dan kenegaraan. Selain itu, di Sabang  juga tersebar berbagai situs sejarah dan purbakala, seperti situs kerangka manusia purba, kuburan keramat ulama, serta bangunan peninggalan Belanda dan Jepang.

Sebagaimana terjadi di daerah lain, pengaruh kehidupan modern yang serba praktis, pragmatis, dan individualis juga melanda Sabang, terutama di kalangan generasi mudanya. Hal ini seringkali memunculkan friksi dan konflik antara generasi tua dan muda. Fenomena budaya pop juga mewabah di kalangan remaja, seperti penggunaan gawai, internet, merek terbaru, mode, dan sebagainya. Tentu saja, wabah budaya pop itu tersebar terus-menerus melalui televisi dan internet. 

Ada sebuah peribahasa Aceh yang bisa digunakan untuk melukiskan kecemasan generasi tua terhadap berbagai perubahan sosial dan budaya yang sedang terjadi. Peribahasa tersebut berbunyi mate aneuk meupat jeurat, mate adat hana pat tamita. Artinya, jika anak mati, ketahuan di mana kuburannya. Namun, jika adat yang hilang, tidak tahu ke mana harus mencarinya.

 

Bungong ue (bunga kelapa) tradisi boh gaca (melukis inai)

Prosesi adat boh gaca masih terus berlangsung di tengah masyarakat Pulau Weh itu. Biasanya, tradisi ini dijumpai saat upacara perkawinan dan sunat Rasul, lazimnya di Aceh secara umum. Namun saat ini, dia menilai tradisi boh gaca terancam tergerus zaman karena karena semakin banyak generasi muda Aceh menggunakan inai atau henna instan, yang bukan berasal dari daun pacar seperti dalam tradisi boh gaca.

Gaca atau inai yang dihias pada pengantin tersebut berasal dari sari daun pacar yang telah digiling halus. Sabang menampilkan motif bungong ue, yang merupakan khas Sabang, disertai ukiran rangkaian bungong ue dan rantai ombak di laut Sabang.

Berbagai sumber / Ais

Share:
Komentar

Berita Terkini