Aceh Utara - Murtala (41) seorang petani dari Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, khawatir pengerjaan proyek Bendungan Krueng Pase tidak selesai tepat waktu atau awal 2025.
“Kami dijanjikan perbaikan bendungan selesai pada akhir tahun ini agar bisa digunakan pada musim tanam awal 2025. Tapi sekarang, melihat kondisinya, tidak yakin itu terjadi. Kalau terlambat, kami tidak tahu bagaimana harus bertani lagi,” kata Murtala, Jumat, 13 September 2024.
Hal senada juga disampaikan petani lainnya, Jafar. Ia meminta kepastian terhadap penyelesaian bendungan tersebut. Pasalnya, selama ini mereka hanya memakan janji manis, namun proges di lapangan tidak terlihat.
Advokat dan mediator PMN, Bukhari, mengatakan situasi dan kondisi tersebut perlu mendapatkan perhatian serius. Janji Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I untuk menyelesaikannya pada awal 2025 harus ditepati
“Proyek rehabilitasi ini sudah menjadi isu penting sejak lama. Ketidakselarasan antara rencana dan pelaksanaan proyek bisa memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” kata Bukhari.
Bukhari menambahkan, kekhawatiran dan kegundahan mulai dirasakan oleh para petani di sembilan kecamatan yang memanfaatkan irigasi bendungan tersebut. Bendungan itu menjadi salah satu harapan sebagai penyuplai air terbesar bagi para petani yang selama ini bergantung pada sistem irigasi.
“Namun, lambatnya progres pengerjaan dan minimnya informasi resmi terkait perkembangan proyek membuat masyarakat, khususnya petani semakin was-was,” tuturnya.
Bukhari juga meminta dilakukan evaluasi mendalam terhadap kontraktor pelaksana proyek, mengingat waktu yang tersisa sangat terbatas.
“Dengan hanya tersisa tiga bulan dari kontrak kerja, Dirjen SDA dan BWS Sumatera I harus turun langsung meninjau kemajuan proyek ini. Jika tidak ada percepatan signifikan, target pemanfaatan bendungan di awal 2025 sulit tercapai,” ucap Bukhari.
Dikatakan Bukhari, BWS Sumatera I sebelumnya menjanjikan proyek rehabilitasi akan selesai tepat waktu, dan para petani dapat memanfaatkan Bendungan Krueng Pase untuk musim tanam pertama di 2025. Namun, dengan waktu yang semakin sempit, janji tersebut kini mulai dipertanyakan oleh banyak pihak.
Keterlambatan ini, lanjut Bukhari, bukan hanya berisiko pada terganggunya musim tanam, tetapi juga peningkatan biaya harus ditanggung pemerintah.
“Jika proyek ini tidak segera dituntaskan dampaknya terasa pada banyak aspek, terutama ketahanan pangan lokal yang sangat bergantung pada keberhasilan rehabilitasi bendungan ini,” ujar Bukhari. []