Analysis Of waqf Land Empowerment In Establishing Community Welfare In Lamsiteh Village, Aceh Besar District

Editor: Syarkawi author photo


Corresponding author:

Abstract

Purpose

This study was conducted to determine land development and management waqf in the Lamsiteh sub-district, and the impact of its use on improving the welfare of the village community. Land Waqf in Aceh Province has gained huge attention in Indonesia because Aceh is the largest land waqf in Indonesia, covering an area of ​​9,508.25 Ha. Lamsiteh sub-district has land waqf managed by Baitul Mal Aceh (BMA) as nazhir. Therefore, it is vital to analyze the management, outcome and impact of the land waqf towards the comunity.

Design/methodology/approach

This research was conducted qualitatively with observation, interview and documentation procedures compiled through the data reduction stage, presentation and drawing conclusions. The welfare of the village community was measured by using Maqashid Syariah indicators. Post-interview fact-finding was conducted with waqf experts from Baitul Mal Aceh to reach a more in-depth understanding about waqf issues.

Findings

Based on the results of the study, it shows that the management of productive waqf of rice fields is carried out with a profit-sharing system Ijarah and Mukhabarah. The allocation of waqf results is still intended for consumptive dan religion purposes (Hifzul Ad-Din) so it is not fully optimal in improving community welfare. In fact, there are many solutions offered, including intertwining partnerships with stakeholders to be able to finance management and empowerment waqf land, professional nazirs in managing productive waqf, and improving community welfare with comprehensive Maqashid Syari'ah are something that are still relevant to discuss.

Research limitations/implications

This research restricts the  population of Lamsiteh sub-district community, Darul Imarah Regency, Aceh Besar.

Originality/value

This study is original in nature; there is no previous study that addresses the development and management waqf in the Lamsiteh sub-district. Hence, this study presents precious information for policy makers, practitioners and researchers.

Keywords

Waqf, Empowerment, Management, Welfare

LATAR BELAKANG

Wakaf merupakan instrumen penting dalam menunjang ekonomi umat dalam Islam. Wakaf adalah persatuan dalam meningkatkan ibadah dan kepedulian sosial terhadap sesama manusia. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memainkan peran penting dalam pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Wakaf dikembangkan sebagai alat jaminan sosial dan telah terbukti membantu masyarakat kurang mampu secara sosial. Membantu memenuhi kebutuhan hidup berupa kesehatan, tunjangan hari tua, bantuan sosial, pendidikan, dan lain-lain (Suryadi & Yusnelly, 2019)

Jika melihat agenda global yang dibuat oleh para pemimpin dunia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai pendorong agenda pembangunan setelah 2015 hingga 2030, pendekatan dan kerangka tersebut sangat sesuai dengan semangat yang mendasari maqasid syari'ah dalam wakaf. Kerangka SDGs memberikan peluang bagi pemangku kepentingan wakaf untuk menunjukkan relevansi wakaf bagi dunia internasional dengan mengontekstualisasikan orientasi dan pendekatan wakaf untuk memenuhi kebutuhan internasional. Dengan mengintegrasikan SDGs dan Maqasid, pembangunan ini dapat diterapkan. Program ini sangat bergantung pada kontribusi sektor filantropi. Di sinilah wakaf dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan bersama, seperti SDGs dan maqasid syariah (Abdullah, 2018). Dengan tujuan SDGs yang memprioritaskan ketahanan pangan, maka pelaksanaan untuk memproduktifkan tanah wakaf di Indonesia tentunya sangat sejalan dengan agenda pembangunan dunia.

Di Indonesia sebagai negara potensi wakaf tanah sangat besar, terbukti saat ini terdapat lebih kurang 440.512 lokasi tanah wakaf yang telah tercatat dengan luas tanah wakaf sebesar 57.263, 69 Ha. Dengan rincian masjid 43,51 persen, mushala 27,90 persen, sekolah 10,77 persen, makam 4,10 persen, pesantren 4,11 persen dan sosial lainnya 9,37 persen dengan Jumlah tanah wakaf yang telah tersertifikasi sebesar 57,42 persen (Sistem Informasi Wakaf, 2024).  Dari data tersebut, provinsi Aceh adalah yang terluas se Indonesia, yaitu terdapat seluas 9.508, 25 Ha dan memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika tanah tersebut dapat diproduktifkan dengan maksimal. 

Kesejahteraan umat dapat tercapai apabila tanah wakaf dikelola secara maksimal dan produktif. Wakaf di Indonesia umumnya berupa tanah. Ada beberapa model pengelolaan tanah wakaf agar menjadi produktif, salah satunya dengan mengelolanya sebagai lahan pertanian. Islam sendiri menganjurkan untuk bercocok tanam (Rahman, 2020).

Peraturan Perwakafan di Aceh disusun dalam Qanun Aceh nomor 10 tahun 2018 yang menjelaskan secara terperinci terkait harta zakat, infaq, wakaf, dan harta agama lainnya yang dijaga dikembangkan dan dikelola oleh Lembaga Baitul Mal Aceh (BMA) yang independen dan Istimewa. Baitul mal, tempat pengelolaan dana sosial termasuk wakaf sudah menjadi poros peradaban umat Islam (Darmawan & Nurdin, 2020). Berikut ini adalah data tanah wakaf di Aceh yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh.

Tabel 1 Jumlah Luas dan Nilai Aset Wakaf Desa yang dikelola Oleh Baitul Mal Aceh

No

Uraian

Status

Dusun

Desa

Tahun

Luas

Nilai Aset

1

Tanah Wakaf

Wakaf

Ujong Karueng

Ladong

2008

8.994 m2

Rp1.200.000.000,-

2

Harta Agama

Harta Agama

Ujong Karueng

Ladong

2008

40.869 m2

Rp5.721.000.000,-

3

Wakaf Baitul Mal

Wakaf

Kota Cot Bak Garot

Lamsiteh

1990

417 m2

Rp145.950.000,-

4

Wakaf Baitul Mal

Wakaf

Kota Cot Bak Garot

Lamsiteh

1990

1.700 m2

Rp595.000.000,-

5

Wakaf Baitul Mal

Wakaf

Kota Cot Bak Garot

Lamsiteh

1990

2.660 m2

Rp931.000.000,-

6

Wakaf Kajhu

Wakaf

-

Kajhu

2020

889 m2

Rp311.000.000,-

7

Wakaf Lambada Lhok

Wakaf

Blang Panyang

Lambada Lhok

2020

500 m2

Rp75.000.000,-

Jumlah

56.029 m2

Rp8.978.950.000,- Sumber: Hasil survey Subbag Wakaf dan Perwalian, 2021


Data pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa asset yang dikelola Baitul Mal Aceh seluas 56.029 m2 dengan tanah-tanah yang tersebar di tujuh lokasi. Dua titik di Desa Ladong, tiga titik di Desa Lamsiteh, satu titik di Desa Kajhu, dan satu titik di Desa Lambada Lhok. Jika diperhatikan lebih lanjut di Desa Lamsiteh memiliki tiga posisi tanah wakaf dengan nilai aset yang cukup besar. 

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti terkait “Analisis Pemberdayaan Tanah Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Lamsiteh, Kabupaten Aceh Besar”. Peneliti tertarik untuk menganalisis strategi dari pengelolaan wakaf di Desa Lamsiteh, hasil dan dampaknya kepada masyarakat desa Lamsiteh.

LITERATURE REVIEW

Teori Wakaf

Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari Bahasa Arab dari kata woqofa-yaqifu-waqfa yang berarti ragu, berhenti, memperlihatkan, memperhatikan, meletakan, mengatakan, mengabdi, memahami, mencegah, menahan, dan tetap berdiri (Mughniyah, 2007).

Secara istilah, kata Al-Waqf adalah bentuk kata dari ungkapan waqfu al-syaik yang berarti menahan sesuatu. Dalam pengertian secara umum wakaf adalah pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan dan digadaikan kepada orang lain. Cara pemanfaatanya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan (Suryadi & Yusnelly, 2019).

Dasar hukum wakaf diambil dari Al-Quran dan Hadist. Di dalam Al-Quran tidak disebutkan secara terperinci, tetapi terdapat anjuran untuk bersedekah dan menginfakan harta ke jalan Allah yang menjadi pedoman wakaf. Seperti pada Surah Ali Imran ayat 92:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” 

Hamka (2015) menjelaskan bahwa seseorang belum mencapai tingkatan “Kebajikan” jika mereka belum menafkahkan harta yang mereka cintai, atau berwakaf. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Abu Thalhah Ketika mendegar ayat ini diturunkan segera menyedekahkan kebun kurma Bayruha yang sangat dicintainya untuk mendapatkan kebaikan sekaligus sebagai simpanan di sisi Allah. Sehingga Rasulullah menyampaikan kepadanya untuk memberikan kepada kerabatnya. Oleh karena itu, ayat tersebut dijadikan pedoman untuk disyariatkannya wakaf.

Juga terdapat hadist dalam kitab At- Tirmizi nomor 1296 tentang sebidang tanah di Khaibar kepunyaan Umar bin Khatab yang akhirnya disedekahkan dengan menahan tanahnya dan menyedekahkan hasilnya. Gambaran sedekah dalam hadist tersebut seperti halnya sedekah jariyah, Dimana pahala dari harta wakaf tersebut terus mengalir Ketika harta tersebut terus digunakan untuk kebaikan. Kemudian praktek ini disusul oleh para sahabat yang lain seperti Anas  bin  Malik Abdullah bin Umar,  Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006). 

Dalam melaksanakan wakaf, tentu adanya rukun dan syarat wakaf agar dapatdilaksanakan dengan benar. Wakaf dinyatakan legal apabila sudah terpenuhi rukun serta syaratnya. Terdapat empat rukun wakaf: 

1.     Wakif yaitu orang yang mewakafkan harta. 

2.     Mauquf bih yaitu benda atau barang yang diwakafkan. 

3.     Mauquf‘ Alaih yaitu pihak yang diberi wakaf/ jadikan wakaf. 

4.     Shighat yaitu statement ataupun ikrar wakif selaku sesuatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya (Syamsul, 2022).


Pengelolaan Wakaf

   Sampai saat ini, sistem wakaf di Indonesia masih kurang efektif. Akibatnya, banyak harta wakaf yang kurang diperhatikan pengelolaannya, bahkan ada yang hilang. Salah satu alasannya adalah kebanyakan dari masyarakat umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, sedangkan wakif tidak mempertimbangkan biaya operasional sekolah dan nazhir tidak profesional. Maka, penelitian tentang pemberdayaan wakaf ini sangat penting. Karena tidak semua tanah wakaf dikelola secara produktif, sehingga wakaf kurang berperan dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen kontemporer (Munir, 2015).

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terhadap wakaf, bermacam-macam model pemberdayaan wakaf muncul dan dapat kita implementasikan untuk memaksimalkannya. Diantara model-model pedoman pemberdayaan wakaf ini adalah (Kementrian Agama RI, 2013) :

a)     Model Pembiayaan Murabahah.

Cara ini memudahkan nazhir dalam membeli barang untuk mengelola tanah seperti cangkul, pupuk, bibit, karena akad murabahah memberi pembiayaan di bank atau di pembiayaan lain untuk membantunya. Setelah mendapatkan hasil dari pembelian barang maka dapat dibayarkan kembali. 

b)     Model Pembiayaan Istisna’

Dalam model ini, nazir memesan barang-barang yang diperlukan untuk pengembangan wakaf kepada bank atau lembaga keuangan, yang kemudian membuat kontrak dengan kontrakor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf. Pembayaran dapat dilakukan di awal, di cicil, atau di akhir.

c)     Model Ijarah

Model pembiayaan ini menggunakan model ijarah di mana pengelola harta wakaf memiliki kendali penuh atas pengelolaan proyek. Dalam pelaksanaanya pengelola harta wakaf memberikan izin yang berlaku untuk beberapa tahun saja kepada penyedia dana untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Lalu nazir menyewa bangunan tersebut yang pada saat itu milik penyedia dana untuk keberlangsungan pengelolaan wakaf dan nazir membayar sewa kepada penyedia dana untuk pendirian bangunan tersebut secara berkala.

d)     Model Pembiayaan Mudharabah

Pada model pembiayaan mudarabah modal diberikan kepada orang yang berniaga serta owner modal mendapatkan presentase dari keuntungan yang di bisa cocok dengan konvensi. Sebaliknya kala usaha yang dijalankannya rugi tidak diakibatkan oleh kelalaian pengelola hingga seluruh jadi tangung jawab owner modal namun bila kerugian diakibatkan oleh kelalaian pengelola hingga seluruh kerugian jadi tangung jawab pengelola.

e)     Model Pembiayaan Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.

Model ini digunakan sebagai pembiayaan untuk lahan seperti sawah, perkebunan, atau ladang. Dalam model ini, kedua belah lihak melakukan kerjasama untuk menjaga tanaman, seperti penyiangan, pengairan, dan panen dengan peralatan yang tersedia. Hasil panen akan dibagi sesuai kesepakatan.

Model pembiayaan muzaraah merupakan kerjasama antara pemilik modal serta petani. Benih yang ditanam diberikan oleh pemilik lahan. Sedangkan model mukhabarah benih bersal dari pengelola lahan pertanian.


Kesejahteraan Dalam Perspektif Maqashid Syari’ah

Menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial adalah ketika kebutuhan material, spiritual, dan sosial seseorang terpenuhi oleh negara untuk memiliki kehidupan yang layak dan kemampuan untuk berkembang sehingga mereka dapat melakukan fungsi sosialnya.

Dalam islam, menurut konsep kesejahteraan dari Imam Syatibi dalam kitab Almuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, terdapat tiga tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi agar tercapainya kesejahteraan manusia: kebutuhan dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Kebutuhan dharuriyat merupakan kebutuhan pokok, hajiyat adalah kebutuhan sekunder yang jika tidak dipenuhi maka tidak menimbulkan kemudharatan. Sementara itu, tahsiniyat adalah kebutuhan tambahan yang tidak menimbulkan kesulitan jika tidak terpenuhi, karena hanya berfungsi sebagai pelengkap. Maka dari itu indikator atau prinsip-prinsip kesejahteraan yang harus diperhatikan untuk kesejahteraan adalah kebutuhan Dharuriyat yaitu setiap manusia harus menjaga maqashid syari’ah nya meliputi beberapa aspek penting. Maqashid syari’ah, atau tujuan syariah, berfokus pada perlindungan dan pemeliharaan lima elemen utama dalam kehidupan manusia (Chapra, 2008), yaitu:

Tabel 2 Indikator Kesejahteraan Menurut Maqasid Syari'ah

No

Tujuan

Indikator

1.     Hifdhu Ad-din

Menjaga keyakinan dan praktek agama seseorang, saling hormat menghormati, Amar makruf nahi mungkar.

2.     Hifdhu An-nafs

Kehormatann, harga diri, kesetaraan sosial, keadilan, spiritual/ rohani, peningkatan moral kebebasan, pendidikan, emerintahan yang baik, keamanan hidup dan harta benda.

3.     Hifdhu Al-‘Aql

Pencegahan dari perkara yang memudaratkan akal, asuhan yang tepat, kualitas pendidikan yang tinggi, kebebasan berpendapat dan berekspresi, keuangan.

4.     Hifdhu An-Nasl

Moral dan pendidikan duniawi, solidaritas sosial, lingkungan yang sehat, pemenuhan kebutuhan.

5.     Hifdhu Al-Mal

Pengurusan kewangan yang merangkum pendapatan dan perbelanjaan keluarga, peluang kerja, kewajipan menunaikan zakat, melakukan amal jariah seperti sedekah, derma dan wakaf. Sumber: Chapra (2008)


METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini tidak menggunakan statistik, tetapi menggunakan data yang kemudian di analisis menggunakan penjabaran kata dan di interpretasikan (Anggito, 2018).

Jenis penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif, dimana peneliti akan mendeskripsikan objek, fenomena atau setting sosial yang akan dijabarkan dalam bentuk narasi. Metode deskriptif cenderung menggunakan analisis. Metode ini kerapkali menonjolkan perspektif subjek, proses serta arti dari riset tersebut dengan memakai landasan teori- teori selaku payung pendukung supaya cocok dengan fakta- fakta di lapangan (Fiantika, 2022). 


Lokasi Penelitian 

Penelitian ini berlokasi di Desa Lamsiteh, Aceh Besar. Peneliti mengkaji strategi pengelolaan tanah wakaf juga berusaha mendeskripsikan keadaan masyarakat selama menerima manfaat wakaf yang didasarkan pada indikator maqashid syariah.


Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data adalah asal data yang diperoleh untuk penelitian agar dapat diuji kebenaran atau tidaknya data yang diperoleh. Sumber data dari penelitian ini adalah: Data Primer melalui wawancara langsung dari objek yang telah ditentukan dan data sekunder yang diambil dari sumber tertulis seperti jurnal-jurnal terdahulu, buku, dan literatur-literatur lain yang berkaitan dengan pemberdayaan wakaf di suatu Desa (Sugiyono, 2012).

Dalam penelitian kualitatif ini peneliti megumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu: Wawancara, Dokumentasi, dan Observasi (Zuriah, 2009) Data-data tersebut didapat dari Desa Lamsiteh, Aceh Besar. 


Teknik Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menganalisis dan mendeskripsikan hasil dari para informan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan Teknik reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. 

PEMBAHASAN

Hasil

Desa Lamsiteh adalah salah satu desa yang termasuk dalam Kemukiman Lamreung, Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh (BPS Aceh Besar, 2023). Mengenai sejarah pembanganan Desa Lamsiteh menurut beberapa warga Desa tersebut telah berdiri beberapa tahun yang lalu (dibawah tahun 1920). Desa Lamsiteh yang berjarak sekitar 3 Km dari pusat Kecamatan, dimana luas wilayah Desa Lamsiteh adalah lebih kurang 56 Ha yang terdiri dari tanah sawah 28 Ha dan tanah bukan sawah 25 Ha. 

Wilayah desa dibagi menjadi tiga wilayah dusun. Dusun Teungku Syiek Dipirak, Dusun Teungku Syiek Diulim, dan Dusun Cot Bak Garot. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian, perternakan dan sebagian kecil lainnya adalah pedagang dan pegawai negeri di kantor pemerintahan. Terdapat perekonomian lokal di dalam Desa Lamsiteh seperti warung kelontong, Industri rumah tangga, warung kopi, serta beberapa usaha lainnya, juga prasarana yang tersedia seperti Meunasah, Kantor Keuchik, TK serta bangunan lainnya yang penting di desa. Jumlah Kartu Keluarga di Desa Lamsiteh 1556 KK (BPS Aceh Besar, 2023).

Hasil menujukkan bahwa di Desa Lamsiteh terdapat tanah wakaf sebanyak 6 tempat. Tanah wakaf ini difungsikan berbeda-beda jenisnya. 3 dari tanah wakaf dipakai untuk meunasah dan kuburan umum. Sedangakan 3 yang terdiri dari 1 tanah sawah yang dapat digarap dan 2 tanah yang telah dibangun rumah dan ruko untuk disewakan.

 Dari data Baitul Mal Aceh, Tanah sawah Baitul Mal awalnya terdapat tiga tempat tanah wakaf yang didapatkan dari hasil tukar guling / istibdal wakaf Lhongraya pada tahun 1990. Di istibdalkan oleh Baitul Mal Aceh karena tanah tersebut akan dijadikan stadion Lhongraya. Namun, setelah terjadinya tsunami di Aceh pada tahun 2004, Keuchik desa Lamsiteh pada masa itu melakukan istibdal wakaf tanah di Desa Lamsiteh yang berukuran 1.700 M2 ke Desa Blangkiree dengan alasan pembangunan rumah barak untuk korban tsunami Aceh.

Tanah sawah wakaf yang dikelola Baitul Mal Aceh di Desa Lamsiteh digarap oleh masyarakat desa yang kurang mampu, sehingga dengan adanya tanah wakaf bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat desa yang kurang mampu. Mekanisme pemberdayaan tanah wakaf sawah yang ada di desa Lamsiteh kemudian di kelola dengan sistem kerjasama antara pemilik lahan dan petani dengan akad mukhabarah. Dalam hal ini desa memberikan lahan wakaf tanah sawah untuk di kelola, sedangkan modal benih yang ditanam berasal dari penggarap. Adapun proses pengelolaan ini di kenal dengan sistem mukhabarah dengan 3 bagian, 2 bagian untuk pengelola dan 1 bagian untuk meunasah. Sedangkan tanah wakaf yang dibangun rumah dan ruko disewakan kepada masyarakat luar desa dengan sistem Ijarah.

Dampak Pengelolahan Wakaf Produktif Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa

Pemberdayaan tanah wakaf dari sektor petanian telah dikelola sejak lama. Berdasarkan hasil laporan keuangan meunasah Desa Lamsiteh, didapatkan hasil bahwa pendapatan untuk desa dari tanah wakaf setelah bagi hasil dengan penggarap pada tahun 2023 adalah Rp.1.525.000. tentu hasil ini tidak tetap pertahunnya, akan berubah tergantung cuaca dan keadaaan air di Desa. Sedangkan hasil sewa rumah dan ruko dapat mencapai Rp.56.000.000 pertahunnya.

Dampak dari hasil ini tentunya sangat baik bagi masyarakat desa. Terlebih penggarap yang mendapatkan bagi hasil dari pekerjaannya pada tanah wakaf. Dampak lainnya pula pada pemberdayaan meunasah desa yang juga menggunakan hasil dari wakaf tersebut.


Analisis Hasil

Pemberdayaan wakaf dalam islam sangatlah pentinng, selain harus bersumber dari ajaran Islam, pengelolaannya juga harus mempunyai tujuan untuk mewujudkan harta-harta wakaf dapat dimanfaatkan dan dikembangkan. Sehingga, hasil dari pemberdayaan tanah wakaf tersebut dapat digunakan dalam pelbagai kegiatan dakwah, sosial, kesehatan, dan pendidikan masyarakat juga untuk memperkuat perekonomian demi kesejahteraan masyarakat.  Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, penulis menganalisis dua hal:

1.     Strategi pengelolaan tanah sawah di Desa Lamsiteh, Aceh Besar.

2.     Dampak pengelolaan tanah sawah Desa Lamsiteh terhadap masyarakat.

Model pengeloaan tanah wakaf di Desa lamsiteh telah dijelaskan sebelumnya, yaitu menggunakan akad Mukhabarah untuk pengelolaan sawah dan akad Ijarah untuk penyewaan rumah dan Ruko. Selengkapnya dapat diamati dalam gambar


Berdasarkan bagan diatas, dapat diperhatikan bahwa dari hasil wakaf tersebut dapat meningkatkan pendapatan penggarap yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraannya. Namun, sayangnya untuk keseluruhan masyarakat di Desa Lamsiteh, pemanfaatan tanah wakaf ini dapat dirasakan melalui sarana ibadah saja, yaitu meunasah desa.

            Dalam Islam, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kepentingan dhaririyat haruslah terpenuhi. Kepentingan tersebut harus sesuai dengan indikator  maqashid syariah yaitu Hifzu Ad-Din (Menjaga agama), Hifzu An_Nafs (Menjaga jiwa), Hifzu Al-‘Aql (Menjaga akal), Hifzu An-Nasl (Menjaga keturunan), dan Hifzu Al-Mal (Menjaga harta).

1.     Hifzu Ad-Din (Menjaga agama)

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa kebahagiaan  dan   ketenangan   dapat   dicapai   melalui   penghayatan terhadap  Islam  melalui  keimanan  dan  ketakwaan,  kepahaman  akidah serta   pemantapan   ilmu.  

Berdasarkan praktek pendistribusian wakaf di Desa Lamsiteh, meunasah menjadi objek wakafnya sehingga meunasah desa menggunakan dana tersebut untuk kemakmuran meunasah seperti membayar listrik meunasah, perbaikan aset, tadarus al-qur’an, hingga infak untuk imam sholat tarawih. Hasil wakaf ini memenuhi kebutuhan keagamaan masyarakat dari meunasah yang nyaman dan indah sehinngga masyarakat dapat menjalankan ibadah dengan baik, mengikuti pengajian keagamaan dan terciptanya lingkungan kondusif pada perayaan bulan ramadhan.

2.     Hifzu An-Nafs (Menjaga jiwa)

Penjagaan   Jiwa   merupakan   satu   prinsip penting  dalam  proses  kesejahteraan  masyarakat. Kepentingan menjaga jiwa berada  pada  kedudukan  yang  kedua selepas agama. Islam mengharamkan setiap bentuk penganiayaan terhadap jiwa dan nyawa  dalam  bentuk apapun.

Memelihara jiwa dapat dilihat berdasarkan pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan. Selain kebutuhan akan pangan, menjaga jiwa juga dapat dikaitkan dengan menjaga kesehatan. Di desa Lamsiteh, Hasil wakaf tidak terlalu memprioritaskan pangan bagi masyarakatnya, karena kebutuhan akan pangan bagi masyarakat yang kurang mampu sudah diwakilkan oleh bantuan sosial yang di berikan oleh pemerintah. Padi yang dihasilkan dari tanah sawah wakaf hanya didapatkan oleh masyarakat yang menjadi penggarap tanah wakaf tersebut.

3.     Hifzu Al-‘Aql (Menjaga akal)

Menjaga akal agar tetap sehat adalah  satu  tingkah  laku yang positif dan berakhlak mulia. Ini kerana akal merupakan sumber hikmah, hidayah, kebahagiaan serta  kesejahteraan  kepada  manusia  di dunia  dan  akhirat.  Jelas bahwa  akal  dan  syariat  saling  berhubung. Maka  atas  dasar  ini  setiap umat Islam harus menjaga akal serta mencegah segala bentuk penganiayaan terhadapnya.

Desa Lamsiteh membentuk program-program yang dapat menunjang kualitas ilmu umum dan agama tetap terpelihara yang menggunakan hasil dari tanah wakaf yang diberdayakan. Yakni tersedianya pengajian umum yang membahas seputar agama dan kehidupan sehari-hari serta lomba-lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang berkaitan dengan keIslaman pada PHBI gampong sehingga dapat menunjang keilmuan anak-anak untuk belajar berkompetisi.

4.     Hifzu An-Nasl (Menjaga keturunan)

Menjaga keturunan merupakan hal yang penting dalam regenerasi agama Islam kedepannya. Memelihara keturunan merupakan tugas orang tua. Orang tua harus menjaga setiap keturunannya jauh dari seks bebas, pergaulan  bebas, kecurangan,  perzinaan  dan  kelahiran  anak  luar  nikah. Program Desa Lamsiteh yang menggunakan hasil dari tanah wakaf belum memenuhi kebutuhan akan penjagaan keturunan yakni terpenuhinya pendidikan baik bagi masyarakat maupun keturunannya seperti menyekolahkan anaknya ke sekolah. Namun, bagi penggarap sawah yang mendapatkan hasil 2/3 dari hasil tanah sawah yang garap sangat terbantu dengan adanya penghasilan tersebut dapat membantu menyekolahkan anak. 

5.     Hifzu Al-Mal (Menjaga harta)

Islam telah mewajibkan  manusia  mencari  rezeki  yang  halal  dan mengharamkan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Muamalah sesama   masyarakat lain  seperti   berjual   beli,   sewa   menyewa, bagi hasil,  pergadaian,  pinjaman  dan  sebagainya  adalah antara  cara  untuk  memperoleh  harta.

Dengan adanya tanah wakaf sawah desa Lamsiteh, beberapa masyarakat yang kurang mampu akan mendapatkan kesempatan untuk menggarap tanah tersebut sehingga mendapatkan hasil dari tanah tersebut. Menggarap tanah merupakan pekerjaan halal karena dilakukan secara bekerja dan tidak mencuri. Sistem pengelola wakaf sawah, Desa Lamsiteh bekerjasama dengan penggarap didasarkan kesepakatan bersama tanpa ada paksaan, menunjukkan bahwa menerapkan keadilan dalam harta. Kemudian, dengan bekerja, penggarap mendapat penghasilan yang sehingga dapat terhindar dari keadaan meminta-minta.


Kesimpulan

1.     Strategi pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh Desa Lamsiteh dikelola dengan sistem bagi hasil. Rumah dan ruko dari tanah wakaf menggunakan sistem ijarah dan sawah wakaf dengan sistem mukhabarah. Hingga saat ini pengelolaan wakaf tanah sawah sudah mulai berkembang dengan adanya pengalihfungsian tanah wakaf yang sebelumnya dikelola sebagai tanah sawah menjadi ruko dan rumah yang disewakan kepada masyarakat diluar desa yang nanti hasilnya diberikan ke untuk menunjang kebutuhan keagamaan desa. Alokasi dari hasil tanah wakaf tersebut baik dari bagi hasil tanah sawah dan hasil sewa toko tersebut diberikan kepada perbaikan meunasah, acara keagamaan seperti perayaan hari besar islam maulid, konsumsi tadarus Al-Quran.

2.     Wakaf yang dikelola oleh desa Lamsiteh kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar telah memberikan dampak positif bagi masyarakat antara lain, pembangunan meunasah (Mushalla), pemeliharaan sarana dan prasarana ibadah, selain itu juga dengan adanya tanah wakaf tersebut dapat meningkatkan pendapatan Masyarakat yang bertugas sebagai penggarap. Namun hasil dari pengelolaan wakaf produktif tersebut belum dialokasikan ke sektor lain seperti sarana kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat secara konsisten, sehingga wakaf produktif yang ada selama ini belum mengarah pada kesejahteraan masyarakat dengan secara menyeluruh.

3.     Dapat disimpulkan secara menyeluruh bahwa pemberdayaan tanah wakaf di Desa Lamsiteh belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa tersebut dikarenakan hasil wakaf yang yang belum maksimal dan penggunaaanya secara konsumtif.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. (2018). Waqf, Sustainable Development Goals (SDGs) and maqasid al-shariah. International Journal of Social Economics, 45(1), 158–172. https://doi.org/10.1108/IJSE-10-2016-0295

Anggito, A. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. Sukabumi: CV Jejak (Jejak Publisher).

Besar, B. A. (2023). Kecamatan Darul Imarah dalam Angka 2023. BPS Kabupaten Aceh Besar. file:///C:/Users/USER DK/Downloads/DAIYAH BNA/kecamatan-darul-imarah-dalam-angka-2023.pdf

Chapra, M. U. (2008). Vision of Development in the Light of Maqāsid Al-Sharī ‘ ah. January 2008. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.4188.5047

Darmawan, R., & Nurdin, R. (2020). Analisis Pemahaman Nazhir Terhadap Istibdal Wakaf Di Kota Banda Aceh. ETD Unsyiah, 2(2), 160–173. https://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=73851

Fiantika, F. R. (2022). Metodologi Penelitian Kualitatif (I). Padang: PT. Global Eksekutif Teknologi.

Kementrian Agama RI. (2013). Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.

Mughniyah, M. J. (2007). Fiqih Lima Mazhab, Terj Masykur A.B, Afif Muhammad & Idrus Al-Kaf. Jakarta : Penerbit Lentera.

Munir, A. S. (2015). Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif. Ummul Quro, 6(Jurnal Ummul Qura Vol VI, No 2, September 2015), 94–109. http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/qura/issue/view/531

Rahman, I. & T. W. A. (2020). Model Pengelolaan Wakaf Produktif Sektor Pertanian Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani. Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan, Vol .7 No., Hal: 486-489.

Sistem Informasi Wakaf. (2024). Grafik Jumlah dan Luas Tanah Wakaf. Siwak Kemenag. https://siwak.kemenag.go.id/siwak/grafik_jumlah_tanah_wakaf.php

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: CV Alfabeta.

Suryadi, N., & Yusnelly, A. (2019). Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia. Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, 2(1), 27–36. https://doi.org/10.25299/syarikat.2019.vol2(1).3698

Syamsul, S. N. A. dan E. M. (2022). Rukun Wakaf dalam Keabsahan Wakaf Menurut UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Al-Akhbar (Jurnal Ilmiah Keislaman), 8(2), 64–70.

Wakaf, D. P. (2006). Fiqh Wakaf. Jakarta: Kementerian Agama RI.

Zuriah, N. (2009). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.


Penulis :  

1 Cut Fadhila Rahama, Syiah Kuala University, cutfadhilarahama@gmail.com 

2 Muhammad Haris Riyaldi, Syiah Kuala University, harisriyaldi@usk.ac.id

Share:
Komentar

Berita Terkini