Sumber : Kemendikbudristek
Jakarta - Kepulauan Natuna berada di garis terdepan perbatasan Indonesia, kaya akan potensi dan keindahan alam, tapi menyimpan tantangan tersendiri dalam akses bahan literasi. Di tengah keterbatasan tersebut, ada sosok polisi yang tidak hanya menjaga dan mengayomi masyarakat, tetapi juga memiliki semangat untuk memajukan literasi. Bripka Mudiyanto, Anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), adalah sosok pejuang literasi yang turut mengajak anak-anak di Natuna untuk mencintai buku agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di daerah mereka.
Dengan “menyulap” motor dinasnya menjadi perpustakaan berjalan, Bripka Mudiyanto, berkeliling dari kampung ke kampung di Pulau Natuna mengunjungi anak-anak dan meminjamkan buku untuk dibaca. Niat Bripka Mudiyanto sederhana saja, mengajak anak-anak di tapal batas Indonesia itu untuk gemar membaca.
“Berawal dari kegelisahan saya melihat anak-anak usia sekolah di Natuna menghabiskan waktunya dengan bermain game. Atasan saya juga memiliki kegelisahan yang sama dan menyambut baik niat saya,” ucapnya dalam sesi gelar wicara dalam kegiatan Gelar Aksi Nyata Pemulihan Pembelajaran, Sabtu (12/10).
“Tahun 2017, seizin atasan, saya mengubah motor dinas saya menjadi motor pustaka keliling,” lanjutnya.
Selain berkeliling menggunakan motor, Bripka Mudiyanto juga memiliki Taman Bacaan di rumahnya yang didirikan berbarengan dengan motor pustaka. Taman bacaan itu menyimpan koleksi ratusan buku yang bisa diakses oleh anak-anak Natuna. Dengan kehadiran pustaka di rumahnya tersebut, ia berharap masyarakat tidak hanya menjadi gemar membaca, tapi juga membuat anak-anak dekat dengan Polisi.
“Biasanya anak-anak suka ditakut-takuti dengan adanya polisi. Tapi dengan buku dan pustaka di rumah polisi akan membuat mereka merasa dekat,” ujar Bripka Mudiyanto.
Selain Bripka Mudiyanto, ada juga sosok orang tua yang tak kalah gigih menanamkan budaya literasi pada anak-anaknya. Dalam gelar wicara dalam kegiatan Gelar Aksi Nyata Pemulihan Pembelajaran, Ario Muhammad membagikan pengalaman dalam mendidik dan membentuk anaknya, sehingga di usia 14 tahun sudah melahirkan belasan karya buku.
“Anak saya membaca lebih dari 300 buku dalam setahun. Saat anak saya berusia 7 hari sudah saya perkenalkan dengan buku, saya membacakannya. Tentunya buku yang direkomendasikan oleh dokter anak karena usia 7 hari anak sudah mengenal warna hitam dan putih serta bentuk ekspresi,” ujar Ario.
Melalui gelar wicara, Ario mendorong keterlibatan orangtua khususnya ayah dalam membentuk serta mendidik anak di rumah. “Jika anda termasuk ayah yang di kantor atau lingkungan sekitar tidak banyak bicara. Saya harapkan, demi masa depan anak, ubahlah kebiasaan ini. Jadi ayah yang aktif dan mengajak anak bicara sejak usia dini agar kosakata dan kemampuan berpikir kritisnya terbentuk,” ujarnya.
Terkait miskonsepsi literasi, Ario menjelaskan saat ini banyak orang tua supaya sang anak cepat matang. Masa mudanya untuk bermain dipangkas dan dibuang karena merasa bahwa bermain adalah ancaman bagi tumbuh kembang anak kecil. Padahal, ketika anak bermain, sesungguhnya mereka sedang belajar. Ironisnya, cara belajar dengan bermain itu dihilangkan.
Sumber : Kemendikbudristek