Takengon - Rabu (22 Januari 2025) Aceh tengah memasuki fase penting dalam perjalanan ekonominya. Dengan penurunan signifikan transfer dana dari Pemerintah Pusat yang dijadwalkan mulai tahun 2027, tantangan fiskal menjadi semakin nyata.
Ruang gerak fiskal daerah diperkirakan menyempit, sementara tuntutan pembangunan terus meningkat.
Dalam kondisi ini, Pemerintah Aceh perlu merancang strategi inovatif dan berkelanjutan untuk mendanai berbagai program prioritas yang akan dilaksanakan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih periode 2025–2030.
Berbagai pola pendanaan kreatif, seperti penerbitan Sukuk Daerah atau skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), menjadi opsi strategis yang perlu dipertimbangkan.
Namun, tantangan lainnya adalah minimnya kontribusi investasi swasta dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.
Ketergantungan pada belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat perlu diimbangi dengan langkah-langkah yang mendorong pertumbuhan sektor swasta dan investasi.
Untuk membahas isu-isu strategis ini, Bank Syariah Indonesia (BSI) menggandeng TVRI dan RRI menggelar talk show spesial bertajuk "Aceh Economic Updates 2025".
Diskusi ini menghadirkan para pakar ekonomi, seperti Dr. Rustam Efendi, Prof. Taufiq C. Dawood, dan Dr. Banjaran Surya Indrastomo, yang mengupas berbagai tantangan sekaligus peluang bagi perekonomian Aceh lima tahun ke depan.
Dr. Rustam Efendi, pengamat ekonomi senior, menyoroti kekuatan sektor primer Aceh, seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan.
"Aceh memiliki fondasi ekonomi yang kuat di sektor primer, bahkan kontribusinya lebih baik dibandingkan provinsi lain di Sumatera," ujarnya.
Namun, ia menekankan bahwa berkurangnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) memaksa pemerintah untuk memperluas sumber dana pembangunan, salah satunya dengan menarik lebih banyak investasi swasta dan meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan usaha.
Sementara itu, Prof. Taufiq C. Dawood dari Universitas Syiah Kuala menggarisbawahi pentingnya efisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah.
"Aceh perlu segera mencari solusi atas keterbatasan fiskal, sekaligus meningkatkan penerimaan daerah," ungkapnya. Ia juga menyoroti pentingnya kebijakan yang fokus pada pengentasan kemiskinan, mengingat angka kemiskinan di Aceh masih berada pada level dua digit, yaitu 12%.
Chief Economist BSI, Dr. Banjaran Surya Indrastomo, memberikan pandangan optimistis terhadap perekonomian Aceh.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2025 diproyeksikan mencapai 5%, lebih tinggi dibandingkan beberapa provinsi lain di Sumatera. Faktor pendukung meliputi outlook harga energi yang positif, peningkatan konsumsi rumah tangga, serta penurunan suku bunga Bank Indonesia yang memberikan dorongan pada dunia usaha.
Ketiga ekonom sepakat bahwa hilirisasi komoditas unggulan Aceh merupakan solusi utama untuk mempercepat transformasi ekonomi. Proses industrialisasi ini diyakini dapat meningkatkan nilai tambah, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja baru.
"Kita perlu mengubah struktur ekonomi Aceh dari berbasis pertanian menjadi berbasis industri," tegas Dr. Banjaran.
Namun, sebelum transformasi struktural ini sepenuhnya terwujud, diperlukan strategi antara. Sektor pariwisata Aceh yang memiliki potensi besar perlu dikembangkan lebih serius. Dr. Rustam menekankan pentingnya penataan infrastruktur pariwisata agar Aceh semakin nyaman dan menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa meskipun tantangan fiskal semakin berat, Aceh memiliki peluang besar untuk membangun ekonomi yang lebih mandiri.
Dengan kerja keras, inovasi, dan kolaborasi berbagai pihak, Aceh diyakini mampu melewati fase transisi ini dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.[]