Jepang - Dr. Taqwaddin Husin dan Dr. Teuku Alvisyahrin, dosen Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, diundang sebagai pembicara dalam Simposium Internasional untuk memperingati 30 tahun Gempa Hanshin-Awaji di Kobe, Jepang, Sabtu (18 Januari 2025).
Simposium ini diselenggarakan di Centennial Memorial Rokko Hall, Kobe University, pada 17 Januari 2025, dengan melibatkan partisipasi para ahli dari berbagai negara, termasuk China, Jepang, Brazil, dan Indonesia.
“Kunjungan ini merupakan yang ketiga kalinya bagi kami ke Kobe University. Sejak 2012, kami telah menjadi bagian dari kolaborasi riset aspek kebencanaan yang dipimpin oleh Kobe University bersama mitra dari berbagai negara Asia-Pasifik,” ujar Dr. Taqwaddin, yang juga merupakan Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor.
Dalam simposium tersebut, kedua akademisi mempresentasikan topik bertajuk “Aspek Hukum Peran Internasional dalam Pertolongan dan Rehabilitasi Rekonstruksi Pascatsunami Aceh 2004”.
Mereka memulai presentasi dengan menguraikan dampak dahsyat gempa bumi dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.
Berdasarkan laporan PBB dan BRR, bencana tersebut menewaskan 230.000 orang, merusak 139.000 rumah, 60.000 hektar lahan pertanian, 3.000 km jalan, 14 pelabuhan, 11 bandara, 200 sekolah, 127 rumah sakit atau klinik, serta 3.000 masjid dan meunasah.
Dukungan Internasional yang Luar Biasa
Dr. Taqwaddin menjelaskan bahwa bencana tersebut menarik perhatian global. Banyak negara dan organisasi internasional, seperti UNDP, UNICEF, UNESCO, dan UN-Habitat, memberikan bantuan kemanusiaan. Bahkan, beberapa kepala negara, termasuk Presiden AS, Presiden Turki, dan Perdana Menteri Jepang, mengunjungi Aceh sebagai bentuk simpati.
Sebanyak 34 negara donor utama berkomitmen mendukung rekonstruksi Aceh dengan total anggaran mencapai 6,7 miliar dolar AS. Bantuan ini mencakup evakuasi korban, pengobatan, pemenuhan kebutuhan dasar, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur.
Momentum Perdamaian dan Reformasi Hukum
“Bencana tsunami Aceh tidak hanya membawa duka, tetapi juga hikmah besar. Salah satunya adalah terciptanya kesadaran untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, yang menghasilkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005,” jelas Dr. Teuku Alvisyahrin.
Namun, ia juga mencatat bahwa pada saat bencana terjadi, Indonesia belum memiliki kerangka hukum khusus terkait mekanisme bantuan internasional dalam penanggulangan bencana.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2005 pada 2 Maret 2005, yang mengatur koordinasi respons darurat dan persiapan rekonstruksi.
Dampak dari pengalaman ini mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mengatur peran lembaga internasional. Selanjutnya, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008, yang memberikan panduan mengenai kewenangan, prosedur, serta larangan bagi lembaga internasional dalam penanganan bencana di Indonesia.
Refleksi dan Penghargaan
Dr. Taqwaddin dan Dr. Alvisyahrin mengakhiri presentasi dengan mengucapkan terima kasih kepada semua negara dan lembaga yang terlibat dalam pemulihan Aceh. Mereka menyampaikan bahwa tsunami Aceh telah memberikan pelajaran berharga, baik dalam penanganan bencana maupun perdamaian.
“Kami bersyukur, Aceh telah bangkit dan berkembang jauh lebih baik dibandingkan sebelum tsunami. Perdamaian, reformasi hukum, serta pembangunan berkelanjutan adalah warisan yang tidak ternilai dari pengalaman berat tersebut,” pungkas Dr. Taqwaddin, yang juga Ketua ICMI Aceh.
Acara ini menjadi momen refleksi penting bagi komunitas internasional untuk terus memperkuat kolaborasi dalam menghadapi tantangan bencana di masa depan.[]