Ketua Umum AKPERSI Ingatkan Menteri Desa untuk Tidak Generalisasi Wartawan sebagai "Abal-Abal"

Editor: Syarkawi author photo

 


Jakarta – Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) terus berkomitmen menciptakan wartawan yang kompeten, berintegritas, dan profesional. Dengan konsisten mengadakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) jurnalistik bagi pengurus dan anggotanya, AKPERSI berupaya meningkatkan kualitas wartawan agar memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka, mematuhi Kode Etik Jurnalistik, serta tunduk pada Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Namun, Ketua Umum AKPERSI, Rino, menyayangkan pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Yandri Susanto, yang menyebut wartawan sebagai "abal-abal" atau "bodrex." Pernyataan tersebut dinilai tidak adil dan dapat menciptakan stigma negatif terhadap profesi wartawan secara umum.

“Pernyataan seperti ini melukai hati para wartawan, terutama mereka yang tergabung dalam AKPERSI. Pak Menteri seharusnya lebih bijak memilih kata-kata dan menggunakan istilah ‘oknum wartawan’ alih-alih menggeneralisasi. Wartawan yang tergabung di AKPERSI rutin meningkatkan kapasitas melalui pelatihan dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), bahkan kami sedang merencanakan UKW Akbar se-Indonesia dengan lembaga penguji yang terakreditasi Dewan Pers," ujar Rino.

Ia menegaskan bahwa AKPERSI selalu konsisten menyelenggarakan pelatihan jurnalistik secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. "Kami tidak pernah langsung melabeli seseorang sebagai wartawan abal-abal. Kalau ada yang belum memahami kode etik dan aturan jurnalistik, itu menjadi tanggung jawab bersama untuk memberikan edukasi, bukan justifikasi,” tambahnya.

Pernyataan Kontroversial Menteri Desa

Sebelumnya, Yandri Susanto menyebutkan dalam sebuah forum bahwa wartawan dan LSM “bodrex” sering mengganggu kepala desa dengan permintaan uang yang dianggap meresahkan. Pernyataan tersebut disampaikan dengan nada bercanda, tetapi dianggap tidak pantas.

“Yang paling banyak ganggu kepala desa itu LSM sama wartawan bodrex. Mereka muter, hari ini ke kepala desa ini minta duit satu juta, bayangkan kalau ada 300 desa, itu 300 juta. Gaji menteri kalah,” ujar Yandri sambil tertawa.

Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk AKPERSI.

AKPERSI Serukan Profesionalisme dan Klarifikasi

Rino menegaskan bahwa AKPERSI mendukung penertiban oknum wartawan yang merusak citra profesi. Namun, ia menekankan bahwa pernyataan Yandri harus dipertanggungjawabkan untuk menghindari persepsi negatif terhadap semua wartawan.

“Kami sepakat untuk menertibkan oknum wartawan abal-abal yang merusak marwah profesi ini. Namun, penting bagi pejabat publik seperti Pak Menteri untuk lebih berhati-hati dalam berucap. Jangan sampai publik berpikir semua wartawan bersikap seperti itu. Profesi wartawan adalah pilar keempat demokrasi yang dilindungi undang-undang, meskipun pekerjaan ini tidak serta-merta menjadikan seseorang kaya secara instan," jelas Rino.

Rino juga mengimbau jajaran Polri dan aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi wartawan yang menjalankan tugas jurnalistiknya. Ia menegaskan, wartawan yang bekerja sesuai kode etik dan undang-undang memiliki hak yang dilindungi oleh hukum.

Sebagai langkah konkret, AKPERSI akan menyurati Kementerian Desa, PDTT untuk meminta klarifikasi dan mengusulkan diskusi terkait pelatihan jurnalistik dan pengaduan dari kepala desa. “Kami berharap ini menjadi momentum untuk meningkatkan kerja sama dan mencari solusi bersama, bukan saling menyalahkan,” pungkas Rino.

Wartawan sebagai Pilar Demokrasi

Rino juga mengingatkan anggota AKPERSI di 30 provinsi untuk tetap menjalankan tugas jurnalistik dengan mengedepankan pemberitaan yang faktual, berimbang, dan profesional. “Jangan pernah takut menjalankan fungsi kontrol sosial. Jika ada intimidasi, tetap tegar karena kita adalah bagian penting dari demokrasi,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah nyata seperti pelatihan dan UKW, AKPERSI membuktikan komitmennya untuk meningkatkan kualitas wartawan di Indonesia. 

Rino berharap pemerintah juga dapat mendukung upaya ini dengan memberikan ruang untuk edukasi dan pemberdayaan wartawan, bukan justifikasi atau stigma negatif.[***]

Share:
Komentar

Berita Terkini